Minggu, 11 Oktober 2009

ETIKA dan BUDAYA PERS

Etika dan budaya pers adalah alat utama pers membangun kepercayaan publik, suatu modal yang kuat untuk sukses secara bisnis.

Menurut Dahlan selaku pemimpin redaksi tribun timur, pers bukan hanya lembaga sosial. Ia lembaga bisnis. Karyawannya menerima gaji secara profesional. Pengelola pers dalam mengelola karyawan patuh dan tunduk pada UU Ketenagakerjaan.
Badan hukumnya PT, perseroan terbatas. Ia tunduk pada kaidah-kaidah dan hukum bisnis. Dia obyek pajak.

Sebagai perseroan terbatas, perusahaan pers didirikan untuk mencetak laba. Laba, bagi media massa non-cetak, diperoleh dari iklan (on air maupun off air). Surat kabar menambah sumber pendapatannya dari jualan koran, selain iklan.
Tiga hal itu dikatakan untuk menegaskan bahwa bukan zamannya lagi memberikan belas kasihan kepada pekerja pers seperti wartawan. Sebagai karyawan, wartawan memperoleh gaji. Memberikan mereka amplop sama sekali bukan menolong wartawan, melainkan menjermuskan mereka ke jurang penghianatan pada profesinya yang mengabdi kepada publik.
Pengabdian kepada publik merupakan misi sosial yang luhur dari lembaga pers.
Sebagai lembaga sosial, pers mengemban fungsi menghibur, mendidik, memberi informasi, dan melakukan kontrol sosial terhadap lembaga dan tokoh publik.
Antara misi mencetak laba dan misi sosial sering kali berbenturan. Dinamika pers sesungguhnya adalah pergulatan dinamis dan terus menerus untuk melaksanakan fungsi sosial di satu sisi dan misi bisnis di sisi yang lain.
Mengapa Etika Perlu ?
Bisnis pers itu unik. Dia mencetak laba dengan cara merebut kepercayaan publik lewat berita yang diproduksi dan didistribusikan. Tapi, pers yang sehat hanya memperoleh sedikit saja dari distribusi berita (penjualan koran, misalnya), tapi justru memperoleh sebagian besar pendapatannya dari iklan. Iklan datang memburu konsumen pers.
Bisnis pers sesungguhnya tidak menjual kertas koran, suara, atau gambar, melainkan kepercayaan. Publik percaya kepada pers, karena itu mereka mengonsumsinya. Karena publik percaya, lalu mengonsumsi, pemasang iklan datang, kemudian pers mendapatkan uang, mencetak laba. Begitulah prosesnya.
Dengan demikian, sangat jelas, bahwa membangun pers yang memiliki kepercayaan publik berfungsi ganda: untuk memuluskan misi bisnis sekaligus memperbesar dan memperlebar pengaruh sosial.
Mencetak laba adalah tujuan, sedangkan membangun kepercayaan adalah cara mencapai tujuan. Sukses pers secara bisnis berkaitan erat dengan sukses pers secara sosial.
Dalam mengejar laba, pers mempertimbangkan cara. Tidak jarang, pers profesional mengabaikan kemungkinan mencetak pendapatan manakala pendapatan itu bertentangan dengan cara.
Pemasangan iklan, misalnya. Pers profesional seringkali menolak iklan bila iklan itu menabrak etika sosial dan hukum. Laba penting, cara juga penting.
Laba adalah perspektif jangka pendek atau financial perspective. Cara berbisnis, dengan patokan utama pada upaya membangun kepercayaan publik, merupakan investasi jangka panjang. Membangun kepercayaan adalah modal untuk growth, untuk tumbuh. Tumbuh secara sosial, tumbuh secara bisnis.
Di redaksi (newsroom), prinsip etikanya lebih ketat lagi. Redaksi, yang memproduksi berita, memikul beban yang lebih berat membangun kepercayaan publik ketimbang bisnis. Redaksi memproduksi, departemen bisnis menjual. Produk --itulah inti kepercayaan.
Para wartawan, yang merupakan tenaga inti redaksi, bekerja mencari, menulis, dan melaporkan berita. Semua proses itu dibingkai etika: sejak dari proses mencari, proses menulis, hingga proses melaporkan berita.
Pada tahap mencari, kode etik wartawan, misalnya, menegaskan, wartawan harus secara jujur mengungkapkan identitasnya kepada narasumber, tidak menerima suap.
Sedangkan pada tahap menulis berita, secara etis wartawan dituntut memisahkan secara tegas fakta dari opini, berimbang, objektif, tidak melakukan plagiat.
Akhirnya, pada tahap melaporkan berita, etika wartawan menuntut: tidak melaporkan berita bohong, dusta, fitnah, dan sadisme. Tidak menodai agama.
Bahkan, setelah berita disiarkan pun, etika wartawan menuntut agar secara jujur melakukan ralat pada kesempatan pertama bila berita yang disiarkan ternyata tidak benar atau mengandung unsur-unsur yang keliru.
Demikianlah terlihat bahwa sejak dari proses mencari, menulis, melaporkan berita, hingga setelah berita dikonsumsi publik, wartawan bekerja dengan etika.
Proses-proses itulah yang membimbing wartawan memproduksi berita –-suatu proses mengubah sekadar informasi menjadi sebuah berita (news). Suatu proses yang mesti dilewati untuk menghasilkan produk yang bisa membangun kepercayaan publik, yang merupakan modal sosial pers.
a
Budaya Pers
Beberapa nilai dasar membangun budaya pers. Nilai-nilai itu membentuk pribadi wartawan, membimbing proses-proses etis, dan menunjukkan tujuan.
Ada dua keterampilan wartawan, yakni soft competence dan hard competence. Soft competence berkaitan dengan nilai-nilai dasar wartawan, sedangkan hard competence terkait dengan keterampilan mencari, menulis, dan melaporkan berita.
Tujuan terbesar wartawan adalah masyarakat. Untuk mencapai tujuan itu, soft competence wartawan harus terus menerus diasah untuk mengembangkan nilai-nilai kebebasan, independensi, dan nonpartisan.
Kebebasan, independensi, dan nonpartisan adalah alat bagi wartawan untuk memuluskan tujuannya mengabdi kepada masyarakat. Karena itu, kendati nilai-nilai kebebasan, independensi, dan nonpartisan merupakan nilai etis yang mengatur proses kerja wartawan, nilai-nilai tersebut harus mendapatkan dukungan masyarakat, karena pada akhirnya, terminal terakhir dari nilai-nilai itu adalah masyarakat.
Dengan cara pandang demikian, kebebasan pers –-yang merupakan salah satu anak dari budaya kebebasan di lingkungan wartawan –-sebenarnya tidak ditujukan untuk wartawan saja, melainkan untuk melindungi hak masyarakat mendapatkan informasi (the public right to know).
Wartawan terbiasa dalam kultur kerja yang independen. Kultur ini membimbing wartawan untuk leluasa mencari, menulis, dan melaporkan berita yang dianggap menarik dan penting untuk masyarakat.
Pada akhirnya, sikap nonpartisan merupakan prasyarat membangun kepercayaan dari publik yang warna-warni secara politik, agama, etnis, maupun kultur. Dari sisi ini, wartawan bekerja seperti negarawan, bukan politisi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar